Monday, April 28, 2014

membuka penutup hati

Ada sekelompok orang yang pergi berdarmawisata. Mereka naik bis dan melewati jalan2 pegunungan yang sangat indah: ada danau, ada sungai, ada burung2, ada bunga, ada sapi dan sang penggembala, ada hamparan hijaunya rumput, ada jalan raya dijepit kuningnya padi dan lebatnya kebun tebu, dan ada kupu kupu yang berterbangan. Pelangi juga sedang tersenyum diatas sana. Sayangnya bis itu tertutup semua jendelanya dengan korden kain sehingga gelap, sehingga apapun tidak terlihat, kecuali sumpeknya bis dan orang2 yang menggerutu menunggu sampainya ke tujuan. Semua orang mengharap bisa sampai tempat tujuan secepatnya, supaya bisa menikmati keindahan pemandangan disana. Mereka tidak tahu bahwa hanya dengan membuka kain gorden, mereka bisa menikmati keindahan yang sudah ada sekarang.

**

Kita tertawa melihat ketololan orang pada parabel diatas, sementara kitapun sering lupa membuka kain korden bis kehidupan kita. Otak kita hanya tertuju pada tujuan nanti waktu naik pangkat, dapat uang bonus besar untuk bisa keluar negeri, atau suksesnya proyek besar yang mendatangkan laba besar, dan tidak mau membuka mata hati kita dan menikmati hari2 kerja yang sibuk, satpam kantor yang bogang dan lucu, kerja lembur yang dibarengi makan goreng2, senyum anak ketika weekend sambil makan kembang gula murah, cicak dirumah yang sedang berkejaran dengan betinanya, ataupun tanaman dibelakang rumah yang sudah meranggas lebat disirami hujan.

Hidup sering dianggap sebagai sebuah pengejaran pada tujuan, penantian sukses, seperti: menunggu lulus sarjana, menunggu naik pangkat jadi manajer, menunggu kesempatan keluar negeri, menunggu bisa beli rumah besar atau mobil mewah. Kita lupa bahwa perjalanan sederhana kita, seperti kemacatan kota, teriknya matahari, kehujanan diatas sepeda motor tua, lucunya filem kartun di TV, nyanyian teman yang sumbang, dan kopi tubruk yang pekat ini, semuanya memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri yang seharusnya mampu kita nikmati dan kita syukuri. Selamat membuka penutup hati.

No comments:

Post a Comment