Sunday, February 13, 2011

Sang Juara

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah saat itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semua buatan sendiri, sebab, memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namum ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Disetiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.

Namun sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam dengan tangan yang bertangkup memanjatkan dia. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, ”Ya, aku siap!”.

Dor. Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. ”Ayo... cepat... cepat, maju.. maju...”, begitu teriak mereka. Ahha... sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan, Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Ia berucap, dan berberkomat-kamit lagi dalam hati. ”Terima kasih.”

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. ”Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Mark terdiam. ”Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan” kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, ”Sepertinya tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolong mu mengalahkan orang alin. ”Aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat kemudian mendengar itu, terdengarlah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan.

Renungan:

Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidak bermohon kepada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.

Mungkin telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukanlah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya?

Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui?, saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya, Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya yang saleh. (adapted from irfan-seeds)

Saturday, February 12, 2011

Ironis

Bobby Leech menjadi orang pertama yang dapat lolos dari maut saat terjun dari air terjun Niagara dalam sebuah gentong di tahun 1911. Atraksi ini demikian hebat. Ia menjadi sangat terkenal dan diundang berkunjung ke seluruh penjuru untuk menceritakan pengalamannya.

Ketika berada di Selandia Baru, saat ia disambut oleh para penggemarnya, secara tidak sengaja Bobby Leech menginjak kulit pisang dan jatuh terpeleset. Ia kemudian meninggal dunia beberapa waktu kemudian, karena geger otak.