Jaman dulu, manusia
lebih mau menerima “nasib”, menganggap semua itu tergantung sesuatu yang diluar
dirinya sendiri, tidak sukses menjadi manusia besar atau orang kebanyakan,
adalah hal2 yang “terjadi” pada diri kita. Sehingga orang yang gagal pun
disebut “unfortunate”, orang2 yang tidak beruntung.
Dengan semakin majunya jaman dan teknologi, semakin terbukanya kesempatan, semakin mampu-nya manusia merubah nasibnya sendiri. Kita merasa diri kita sebagai penentu nasib, sebagai satu2nya orang yang bertanggung-jawab atas sukses kita sendiri. I am the captain of my soul, jadi ikrar kita. Sehingga orang yang gagal, dianggap “loser”, - pecundang, orang yang kalah.
Bersamaan dengan itu, semakin kuat pula intensitas emosi kita, kita semakin stress, semakin mudah marah, dan menjadi kasar. Kita “harus” bisa sukses, harus menjadi lebih dari teman kita. Perbandingan diri sendiri dengan teman seangkatan, menjadi tidak terelakkan. Reuni jadi tolok ukur, siapa sukses, siapa gagal. Yang gagal, bahkan menghindar untuk ikut acara.
Tekanan menjadi stress, kebahagiaan menyurut dan membuat kita jadi pemarah. 45 persen orang Amerika mengalami kesulitan tidur. Pada 2010 saja, sudah 20 persen orang Amerika makan obat2an untuk “kesehatan mental" mereka.
Pada 1994, hanya 15% orang Amerika merasa ketegangan dalam kehidupannya, pada 2009 angka itu menjadi 49.5%. Bahkan sekarang selalu lebih dari 50 persen merasa marah2 terus pada pemerintah dan institusi2 besar yang dianggap menimbulkan tekanan pada kehidupan mereka. Lalu, semua mulai menyukai kambing2 berwarna hitam.
Narsisme menjadi sebuah fenomena baru. Tas Hermes berharga ratusan juga menjadi status simbol. Kita lebih mau “memotret” makanan mewah, daripada menikmatinya. Selfie jadi kebiasaan baru. Manusia menjadi egois, semuanya adalah tentang “saya”. Kalau dulu anak2 kecil ketika ditanya apakah ingin menjadi orang hebat terkenal - hanya 12 persen yang mau, sekarang lebih dari 80% menghendakinya.
Perubahan prilaku menuntut kita merubah prilaku dalam cara kita bekerja, berkomunikasi dan berbisnis. Selamat memulai beraktifikas lagi. Salam sukses untuk kita semua.
Dengan semakin majunya jaman dan teknologi, semakin terbukanya kesempatan, semakin mampu-nya manusia merubah nasibnya sendiri. Kita merasa diri kita sebagai penentu nasib, sebagai satu2nya orang yang bertanggung-jawab atas sukses kita sendiri. I am the captain of my soul, jadi ikrar kita. Sehingga orang yang gagal, dianggap “loser”, - pecundang, orang yang kalah.
Bersamaan dengan itu, semakin kuat pula intensitas emosi kita, kita semakin stress, semakin mudah marah, dan menjadi kasar. Kita “harus” bisa sukses, harus menjadi lebih dari teman kita. Perbandingan diri sendiri dengan teman seangkatan, menjadi tidak terelakkan. Reuni jadi tolok ukur, siapa sukses, siapa gagal. Yang gagal, bahkan menghindar untuk ikut acara.
Tekanan menjadi stress, kebahagiaan menyurut dan membuat kita jadi pemarah. 45 persen orang Amerika mengalami kesulitan tidur. Pada 2010 saja, sudah 20 persen orang Amerika makan obat2an untuk “kesehatan mental" mereka.
Pada 1994, hanya 15% orang Amerika merasa ketegangan dalam kehidupannya, pada 2009 angka itu menjadi 49.5%. Bahkan sekarang selalu lebih dari 50 persen merasa marah2 terus pada pemerintah dan institusi2 besar yang dianggap menimbulkan tekanan pada kehidupan mereka. Lalu, semua mulai menyukai kambing2 berwarna hitam.
Narsisme menjadi sebuah fenomena baru. Tas Hermes berharga ratusan juga menjadi status simbol. Kita lebih mau “memotret” makanan mewah, daripada menikmatinya. Selfie jadi kebiasaan baru. Manusia menjadi egois, semuanya adalah tentang “saya”. Kalau dulu anak2 kecil ketika ditanya apakah ingin menjadi orang hebat terkenal - hanya 12 persen yang mau, sekarang lebih dari 80% menghendakinya.
Perubahan prilaku menuntut kita merubah prilaku dalam cara kita bekerja, berkomunikasi dan berbisnis. Selamat memulai beraktifikas lagi. Salam sukses untuk kita semua.
No comments:
Post a Comment