Saturday, June 20, 2009

Tim Sukses Capres yang Membuat Macet

Disekitar jalan Menteng, Jakarta Pusat, jika menelusuri jalan dimulai dari jalan Teuku Umar menuju ke arah Masjid Sunda Kelapa, maka akan ditemui tempat tinggal serta basis dari ketiga capres saat ini. Sangat kebetulan urutan tempatnya disepanjang jalan ini juga sesuai dengan nomor urutan capres yang ada. Jalan ini merupakan salah satu jalan alternatif apabila dari Jakarta pusat ke wilayah Jakarta selatan

Jika kita telusuri jalan mulai dari jalan teuku umar menuju masjid Sunda Kelapa tersebut, maka pertama kali ditemukan rumah capres nomor satu yang beberapa meter sebelum tempat tinggal mantan presiden dan juga anak presiden ini, setengah jalannya sudah di taruh oleh segitiga pembatas jalan, pas didepan rumahnya terpasang spanduk segi empat besar dengan gambar sang capres berbentuk lukisan. Sekitar tiga ratus meter setelah melewati capres nomor satu akan ketemu tempat basis tim sukses dari capres nomor dua, beberapa spanduk yang memanjang juga terpasang pada pagar rumahnya, spanduk dengan gambar photo capres dan cawapresnya dengan tulisan slogannya. Setelah melewati capres nomor dua akan ketemu rumah dari capres nomor tiga,tapi tidak ada spanduk, mungkin karena tempat ini merupakan rumah dinas sebagai wapres.

Beberapa minggu ini pada hari-hari kerja, jalan tersebut selalu macet dikarenakan setengah jalan yang ada dijadikan sebagai tempat parkir dari tamu atau tim sukses dari ketiga capres tersebut. mobil-mobil parkir mayoritas mobil mewah, jalan trotoar yang merupakan jalan umum untuk pejalan kaki, juga menjadi tempat parkir untuk pengendara motor, padahal sebelumnya jalan ini merupakan jalan yang nyaman, lancar, dan tidak terlalu ramai untuk dilalui.

Pada saat kemacetan akhirnya terbersit doa semoga dengan menjadi macetnya jalan tersebut capres yang selalu mengatakan "Pro" rakyat akan mengembalikan jalan tersebut untuk rakyat bukan untuk tempat parkir, sehingga rakyat bisa me-"Lanjutkan" perjalanan dengan lancar, kalo lancar pastinya akan sampai ditujuan dengan "Lebih cepat Lebih baik" dong…….

Wednesday, June 17, 2009

Melihat lebih jauh

Tulisan ini sangat bagus dan sangat sayang sekali kalo tidak ditaro diblog taman bacaan,karna tulisan ini dari surat kabar harian kompas tanggal 14 Feb 2009 oleh Bapak Herry Tjehjono, kalo korannya disimpan takut-takut nanti malah tercecer dijual ama mbok ke.

Kalo lihat nama penulisnya ini menggunakan ejaan lama sepertinya bapak ini senior,karna kebetulan sy pernah punya pimipinan namanya Agus Tjahjono yang sekarang sdh pensiun.

Mohon Maaf dan Mohon Izin pa Herry Tjahjono untuk tulisannya saya masukan dalam taman bacaan saya, Salam Hormat saya buat Bapak dan keluarga.

Melihat lebih jauh
oleh: Herry Tjahjono

Ada dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.

Kisah lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.
Demikian jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.

Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga.
Pertama, untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis (hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia besar atau tidak.

Kedua, untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good. Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang penting job description dijalankan), target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja. Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat petuah Jim Collins, good is the enemy of great.

Ketiga, langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the job!

Keempat, setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih, mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim.

Rindu pemimpin besar Betapa bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing.
Perhatikan dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya, konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru. Semua bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan” kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera mungkin.

Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan ”mampu” melangkah lebih jauh.

Herry Tjahjono
Corporate Culture Therapist & President The XO Way, Jakarta